Regulasi 50+1 Kepemilikan Klub Liga Jerman: Untung atau Buntung?
Liga Jerman, Bundesliga, merupakan salah satu liga tersbesar di Eropa. Terdapat regulasi unik terkait kepemilikan klub yang tidak bisa dikuasai investor.
Pengecualian diberikan kepada klub-klub yang sudah menjalin kerja sama selama lebih dari 20 tahun dengan perusahaan lain atau sebelum regulasi pertama kali diterbitkan.
Beberapa klub yang menjadi pengecualian adalah Bayer Leverkusen dengan perusahaan kimia Bayer, RB Leipzig dengan perusahaan minuman Red Bull, dan Wfl Wolfsburg dengan pabrik kendaraan Volkswagen.
Namun, dengan berbagai keuntungan yang diterima suporter dan klub, terdapat beberapa permasalahan rumit menghantui tim-tim Bundesliga. Salah satunya adalah banyak pemain bintang memilih pindah ke luar Jerman karena upah standar yang dimiliki pemain Bundesliga jauh berbeda dengan di Inggris atau Spanyol.
Penyebab ‘rendah’-nya harga dan gaji para pemain merupakan akibat finansial tim cenderung pas-pasan dengan investasi besar yang minim. Hal tersebut membuat pemain-pemain yang merasa berkontribusi banyak untuk skuat memilih mencari klub baru dengan gaji sepadan.
Gaji pas-pasan untuk para pemain membuat klub lebih senang menggunakan pemain akademi milik klub. Namun, hal itu juga yang membuat Liga Jerman tidak sekompetitif Liga Inggris.
Masalah lain muncul ketika pandemi Covid-19 merebak dan menyebabkan banyak klub mengalami kesulitan finansial akibat tidak ada pemasukan dari tiket penonton. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan bantuan klub yang memiliki keuangan stabil dan bantuan dari DFL.
Pada tahun 2009, presiden klub Hannover 96, Martin Kind, mengajak klub-klub Bundesliga untuk menandatangani kesepakatan mengubah kebijakan 50+1. Namun, 32 dari 36 skuat Bundesliga utama dan kelas dua menolak hal tersebut.


